Kaidah Dalam Fikih Jual Beli (Bagian 01)
Kaidah Dalam Fikih Jual Beli (Bagian 01)
Bismillah was shalatu was salamu 'ala Rasulillah, wa ba'du,
Imam al-Qarrafi berkata,
كل فقه لم يخرج على القواعد فليس بشيء
“Setiap kesimpulan fikih yang tidak memenuhi qaidah, bukan fikih yang kuat.” (ad-Dzakhirah, 1/55).
Dengan mempelajari kaidah dalam fikih, akan memudahkan setiap muslim untuk memahami banyak kajian fikih.
Pada kesempatan kali ini kita akan membahas beberapa kaidah seputar fikih jual beli. Semoga bisa memudahkan para pembaca untuk memahami fikih muamalah maliyah, yang selama ini dianggap sebagai ilmu yang paling sulit dipelajari.
Kaidah pertama,
Hukum Asal Jual Beli Adalah Mubah
Kaidah menyatakan,
Tempat Pembuangan Air Bersih
“Hukum asal dalam muamalah adalah halal dan mubah”
Aktivitas manusia di dunia ini bisa kita bagi menjadi 2:
[1] Aktivitas ibadah
[2] Aktifitas non Ibadah
Untuk aktivitas ibadah, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memberi batasan, semua kegiatan ibadah harus ada dalilnya. Tanpa dalil, kegiatan ibadah itu tidak diterima. Kita berterima kasih, semua manusia buta akhirat. Bahkan mereka juga buta tentang cara untuk bisa mendapatkan kebahagiaan akhirat. Sehingga Allah menurunkan wahyu, yang disampaikan melalui manusia pilihan-Nya yaitu para nabi. Sehingga tidak ada cara yang dibenarkan untuk mendapatkan jalan akhirat, selain mengikuti petunjuk para nabi.
Karena itu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menegaskan, setiap kegiatan agama, tanpa tuntunan dari beliau, tidak akan diterima. Beliau beristirahat,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا ، فَهْوَ رَدٌّ
Siapa yang melakukan amalan ibadah yang tidak ada ajarannya dari kami, maka amal itu tertolak. (HR.Muslim 4590).
Berbeda dengan aktivitas yang kedua, aktivitas non ibadah, manusia diberi hak untuk berkreasi, melakukan kegiatan apapun yang dapat memberikan kebaikan untuk dirinya sendiri, selama tidak melanggar larangan.
Bahkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menegaskan, bahwa umatnya lebih pada urusan dunia mereka.
Dalam hadis yang sangat terkenal, yang menyatakan,
أنتم أعلم بأمور دنياكم
“Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian.”
Hukum Asalnya Halal
Allah menciptakan dunia dan seisinnya ini, dan Allah mengijinkan bagi manusia untuk memanfaatkannya. Allah berfirman,
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
Dialah Dzat yang menciptakan untuk kalian, semua yang ada di muka bumi ini. (QS. al-Baqarah: 29)
Imam as-Sa'di berkata,
Apa yang terjadi: Apakah ada yang salah dengan ini?
Artinya, dia menciptakan semua yang ada di muka bumi ini untuk kalian, sebagai kebaikan dan kasih sayang yang diberikan untuk kalian. Agar bermanfaat, dinikmati, dan diambil pelajarannya. (Tafsir as-Sa'di, hlm. 48).
Sehingga apapun di alam ini, dapat dimanfaatkan manusia.
Hanya saja, pemanfaatan mereka dibatasi hak kepemilikan. Sehingga mansia hanya bisa memanfaatkan barang, jika:
[1] Barang itu milik sendiri.
[2] Mengadakan transaksi dengan orang lain, hingga terjadi pembajakan kepemilikan.
Jika kita mengambil hak orang lain tanpa transaksi yang dibenarkan, berarti termasuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil.
Allah sampaikan ini dalam al-Quran,
يَا أَيُّهَا الَّذِين mengambil آَمَنُوا لَا λَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بES أنكُ λْ oranْ oranْ oranَ oranَ oranَ oranَ اطِ oranَ oranَ oranَ اطِ oranْ oranَ oranَ oranَ نْ oranَ oran ِ uatu secara
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian makan harta sesama kalian dengan cara yang batil, selain melalui perdagangan yang saling ridha diantara kalian. (QS. an-Nisa: 29).
Berdasarkan ayat ini, manusia diberi kebebasan untuk melakukan transaksi yang menjadi syarat kepemilikan kepemilikan, selama di sana ada unsur Saling ridha. Baik transaksi sepihak ( tabarru'at ), seperti sedekah, hibah, infaq, dst. atau transaksi dua pihak ( muawwadhat ), seperti jual beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, dst.
Yang Haram itu Sedikit dan Terbatas
Disamping syariat memberikan kebebasan untuk melakukan transaksi, syariat juga memberikan batasan beberapa bentuk transaksi yang dilarang, sekalipun itu dilakukan saling ridha. Karena keterbatasan akal manusia, sehingga terkadang mereka tidak mengetahui unsur kedzaliman yang ada pada transaksi itu.
Seperti transaksi riba. Bagi sebagian masyarakat, riba tidak dianggap kedzaliman karena dilakukan saling ridha. Anggapan ini berasal dari keterbatasan mereka dalam memahami kezaliman yang sebenarnya. Yang jika ini dilarang, akan merusak kehidupan manusia.
Dan sebaliknya, Allah memperbolehkan mereka melakukan jual beli.
Allah berfirman,
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. al-Baqarah: 275)
Untuk itu, ada 3 catatan untuk Jual Beli yang Haram
Jual beli yang haram itu hanya sedikit. Karena hukum asal jual beli adalah mubah
Muamalat yang diharamkan, tujuan besarnya untuk menghindari setiap unsur kedzliman dan mewujudkan kemaslahatan di masyarakat.
Jual beli yang Allah haramkan, kebanyakan diganti dengan transaksi yang halal. Seperti, Allah larang judi dan diganti dengan lomba. Allah larang riba, diganti dengan jual beli.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam Tidak menciptakan Akad Transaksi
Model transaksi yang dipraktekkan di zaman para sahabat adalah melanjutkan bentuk transaksi yang sudah makruf di kalangan masyarakat sejak masa lalu. Artinya, transaksi itu sudah ada sebelum Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam diutus.
Yang dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam hanyalah membatasi atau melarang, jika di sana ada unsur pelanggaran.
Kita bisa melihat beberapa kasus transaksi berikut,
[1] Transaksi salam
Transaksi ini terbiasa dilakukan penduduk Madinah, sebelum beliau tiba di Madinah. Artinya, transaksi ini sudah ada sejak zaman jahiliyah. Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam datang, beliau memberi batasan, agar transaksi salam tidak melanggar syariat.
Ibnu Abbas menceritakan,
قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – الْمَدِينَةَ ، وَالنَّاسُ يُسْلِفُونَ فِى الثَّمَرِ الْعَامَ وَالْعَامَيْنِ – أَوْ ثَلاَثَةً، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ أَسْلَفَ فِى تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِى كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ »
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tiba di Madinah, sementara mereka telah melakukan transaksi salam dalam jual beli kurma, untuk masa setahun, dua tahun, atau tiga tahun. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam merindukan, “Siapa yang melakukan transaksi salam, dia menentukan nilai takarannya, timbangannya, dan batas waktu. (HR. Bukhari 2239 & Muslim 4202).
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bukan orang yang menciptakan transaksi salam. Beliau hanya memberi batasan.
[2] Jual beli araya
Menukar kurma kering di tangan dengan kurma basah yang masih di tangkai, dengan perkiraan cara. Dan ini jelas riba, karena pasti ada selisih.
Sebelum islam datang ke Madinah, transaksi ini biasa dilakukan para masyarakat. Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam datang, beliau memberi keringanan maksimal 5 wasaq.
Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata,
اَلَّهِ - صلى الله عليه وسلم - رَخَّصَ فِي بَاْوُقٍوُقٍوِوِوِوِوِوِ oran بAN ِخ oran ب mengubah اAN ِخ oran ب mengubah اAN ب oran ب
Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberi keringanan untuk jual beli araya dengan perkiraan, selama tidak melebihi 5 wasaq. (Muttafaq 'alaih)
Yang ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menciptakan akad transaksi. Yang beliau lakukan adalah membatasi, agar tidak melarang larangan.
Demikian, termasuk ungkapan yang salah ketika ada orang yang mengajukan,
'Akad dan Transaksi harus sesuai sunnah'. Sekali lagi, ini kalimat yang salah. Karena akad dan transaksi bukan masalah ibadah.
Yang Penting Tidak Melanggar
Mengingat hukum asal transaksi adalah mubah, maka alam melakukan transaksi, tugas seorang muslim adalah memastikan bahwa transaksi yang dia lakukan, tidak melanggar larangan.
Oleh karena itu, dalam pelaksanaan akad, orang tidak dituntut untuk dalil yang akan datang, apakah akadnya pernah ada pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam atau tidak ada. Karena akad bukan masalah ibadah. padahal akad itu tidak ada contohnya di masa lalu, akad ini bisa diterima, selama tidak melanggar syariat.
Sehingga yang lebih penting untuk dia ketahui bukan bagaimana cara membuat akad, tapi apakah ada larangan dalam akad itu.
Syaikhul Islam berkata,
فإنّ المسلمين إذا تعاقدوا بيْنهم عقودًا لم يكونوا يعلمون تحريمها وتحليلهَا فإنّ الفقهاء جميعًا فيما أعلمه يُصحّحونهَا إذا لم يتعاقدوا تحريمها وإن كان العاقدُ حين إذن لم يكن يعلم تحليلهَا لا بالجتهاد ولا بتقليد
Kaum muslimin, ketika mereka melakukan akad, mereka tidak tahu apakah itu halal ataukah haram. Dan para ulama semuanya – menurut yang saya tahu – menilai sah transaksi ini. Selama mereka tidak melakukan transaksi yang haram. Meskipun orang yang melakukan akad, ketika dia diperbolehkan untuk berakad, dia tidak tahu kehalalannya, baik dengan ijtihad maupun dengan mengikuti ulama.
Kemudian Syaikhul Islam menegaskan, anda semua akad harus berdasarkan dalil, maka banyak akad yang tidak sah sampai orang itu tahu dalilnya,
فلو كان إذن الشارع الخاص شرطا في صحة العقود لم يصح عقد إلا بعد ثبوت إذنه كما لو حكم الحاكم بغير اجتهاد فإنه آثم وإن كان قد صادف الحق
Jika izin khusus dari syariat menjadi syarat sah akad, maka setiap akad yang dilakukan manusia menjadi tidak sah, sampai dia yakin ada dalilnya. Sebagaimana ketika ada hakim yang memutuskan tanpa melalui ijtihad, maka dia berdosa, meskipun bisa jadi sesuai kebenaran. ( al-Qawaid an-Nuraniyah , hlm. 206)
Untuk itu, manusia boleh mengadakan model akad yg baru selama tidak ada unsur pelanggaran syariat
Allahu a'lam.
0 komentar:
Posting Komentar