Ada beberapa teori masuknya ajaran Islam ke Indonesia. Agama Islam masuk ke Nusantara Indonesia melewati perjalanan panjang dan dibawa oleh kaum muslim dari berbagai belahan bumi. Kini, Indonesia menjadi negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Merunut beberapa teori yang ada, ajaran Islam masuk ke Indonesia melalui orang-orang dari berbagai bangsa. Sebagian dari mereka ada yang datang ke Nusantara untuk berdagang sembari berdakwah. Ada pula kaum ulama atau ahli agama yang memang datang ke Nusantara untuk mensyiarkan ajaran Islam. Terlepas dari perdebatan dan diskusi yang kemudian muncul, ke-4 teori terkait masuknya Islam di Indonesia tersebut antara lain Teori India (Gujarat), Teori Arab (Mekah), Teori Persia (Iran), dan Teori Cina. Teori Masuknya Islam ke Indonesia: Teori India (Gujarat) Teori yang dicetuskan oleh G.W.J. Drewes yang lantas dikembangkan oleh Snouck Hugronje, J. Pijnapel, W.F. Sutterheim, J.P. Moquette, hingga Sucipto Wirjosuparto ini meyakini bahwa Islam dibawa ke Nusantara oleh para pedagang dari Gujarat, India, pada abad ke-13 Masehi. Kaum saudagar Gujarat datang melalui Selat Malaka dan menjalin kontak dengan orang-orang lokal di bagian barat Nusantara yang kemudian melahirkan Kesultanan Samudera Pasai sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia. Salah satu bukti yang mendukung teori ini adalah ditemukannya makam Malik As-Saleh dengan angka 1297. Nama asli Malik As-Saleh sebelum masuk Islam adalah Marah Silu. Ia merupakan pendiri Kesultanan Samudera Pasai di Aceh. Dikutip dari buku Arkeologi Islam Nusantara (2009) karya Uka Tjandrasasmita, corak batu nisan Sultan Malik As-Saleh memiliki kemiripan dengan corak batu nisan di Gujarat. Selain itu, hubungan dagang antara Nusantara dengan India telah lama terjalin Ditemukan pula batu nisan lain di pesisir utara Sumatera bertanggal 17 Dzulhijjah 831 H atau 27 September 1428 M. Makam ini memiliki batu nisan serupa dari Cambay, Gujarat, dan menjadi nisan pula untuk makam Maulana Malik Ibrahim, salah satu Walisongo, yang wafat tahun 1419. Sesuai namanya, Teori Gujarat mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari Gujarat pada abad ke-7 Hijriah, atau abad ke-13 Masehi. Gujarat terletak di India bagian barat dan berdekatan dengan Laut Arab. Sarjana Belanda J. Pijnapel dari Universitas Leiden adalah orang pertama yang mengemukakan teori ini pada abad ke-19. Menurut Pijnapel, orang-orang Arab bermahzab Syafi’i telah bermukim di Gujarat dan Malabar sejak awal Hijriah (abad ke-7 Masehi). Namun, yang menyebarkan Islam ke Indonesia, menurut Pijnapel, bukan orang Arab langsung, melainkan pedagang Gujarat yang telah memeluk Islam dan berdagang ke dunia timur, termasuk Nusantara. Kemudian, dalam perkembangannya, pendapat Pijnapel diamini dan disebarkan oleh orientalis terkemuka Belanda, Snouck Hurgronje. Dalam pandangannya, yang termuat dalam Revue de l'histoire des religions (1894), Islam telah lebih dulu berkembang di kota-kota pelabuhan Anak Benua India. Orang-orang Gujarat telah lebih awal membuka hubungan dagang dengan Indonesia dibanding dengan pedagang Arab. Menurut Hurgronje, kedatangan orang Arab terjadi pada masa berikutnya. Orang-orang Arab yang datang ini kebanyakan adalah keturunan Nabi Muhammad yang menggunakan gelar “sayid” atau “syarif ” di depan namanya.
Selain Hurgronje, pada tahun 1912, giliran J.P. Moquetta memberikan afirmasi atas Teori Gujarat dengan bukti sebuah batu nisan Sultan Malik Al-Saleh yang wafat pada tanggal 17 Dzulhijjah 831 H/1297 M di Pasai, Aceh. Menurut Moquetta, batu nisan di Pasai dan makam Maulanan Malik Ibrahim yang wafat tahun 1419 di Gresik, Jawa Timur, memiliki bentuk yang sama dengan nisan yang terdapat di Kambay, Gujarat. Moquetta akhirnya berkesimpulan bahwa batu nisan tersebut diimpor dari Gujarat, atau setidaknya dibuat oleh orang Gujarat atau orang Indonesia yang telah belajar kaligrafi khas Gujarat. Alasan lainnya adalah kesamaan mahzab Syafi’i yang dianut oleh masyarakat muslim di Gujarat dan Indonesia. Pendapat Moquetta tersebut mendapat dukungan dari para sarjana lain seperti: Kern, Winstedt, Bousquet, Vlekke, Gonda, Schrieke, dan Hall. Mereka ini sependapat dengan Moquette, dalam hal Gujarat sebagai tempat datangnya Islam di Nusantara, tentu saja dengan beberapa tambahan. Kendati demikian, Teori Gujarat tak lepas dari kritik. Argumentasi Moquette, misalnya, ditentang oleh S.Q. Fatimi. Ia berpendapat, mengaitkan seluruh batu nisan di Pasai, termasuk yang ada di makam Maulana Malik al-Saleh, dengan Gujarat adalah keliru. Menurut penelitian Fatimi, yang berjudul Islam Comes to Malaysia (2009), bentuk dan gaya batu nisan Malik la-Saleh berbeda sepenuhnya dengan batu nisan yang terdapat di Gujarat dan batu-batu nisan lain yang ditemukan Nusantara. Fatimi berpendapat bentuk dan gaya batu nisan itu justru mirip dengan batu nisan yang terdapat di Bengal. Oleh karena itu, Fatimi menyimpulkan, seluruh batu nisan itu hampir bisa dipastikan berasal dari Bengal.Teori Arab (Mekah) Teori selanjutnya tentang masuknya Islam di Indonesia diperkirakan berasal dari Timur Tengah, tepatnya Arab. Teori Arab (Mekah) ini didukung oleh J.C. van Leur, Anthony H. Johns, T.W. Arnold, hingga Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka. Menurut Buya Hamka, Islam sudah menyebar di Nusantara sejak abad 7 M. Hamka dalam bukunya berjudul Sejarah Umat Islam (1997) menjelaskan salah satu bukti yang menunjukkan bahwa Islam masuk ke Nusantara dari orang-orang Arab. Bukti yang diajukan Hamka adalah naskah kuno dari Cina yang menyebutkan bahwa sekelompok bangsa Arab telah bermukim di kawasan Pantai Barat Sumatera pada 625 M. Di kawasan yang pernah dikuasai Kerajaan Sriwijaya itu juga ditemukan nisan kuno bertuliskan nama Syekh Rukunuddin, wafat tahun 672 M. Teori dan bukti yang dipaparkan Hamka tersebut didukung oleh T.W. Arnold yang menyatakan bahwa kaum saudagar dari Arab cukup dominan dalam aktivitas perdagangan ke wilayah Nusantara. Sebagian dari pedagang Arab tersebut kemudian menikah dengan warga lokal dan membentuk komunitas muslim. Mereka bersama-sama kemudian melakukan kegiatan dakwah Islam di berbagai wilayah di Nusantara.
Teori Persia (Iran) Teori bahwa ajaran Islam masuk ke Nusantara dari bangsa Persia (atau wilayah yang kemudian menjadi negara Iran) pada abad ke-13 Masehi didukung oleh Umar Amir Husen dan Husein Djajadiningrat. Abdurrahman Misno dalam Reception Through Selection-Modification: Antropologi Hukum Islam di Indonesia (2016) menuliskan, Djajadiningrat berpendapat bahwa tradisi dan kebudayaan Islam di Indonesia memiliki persamaan dengan Persia. Salah satu contohnya adalah seni kaligrafi yang terpahat pada batu-batu nisan bercorak Islam di Nusantara. Ada pula budaya Tabot di Bengkulu dan Tabuik di Sumatera Barat yang serupa dengan ritual di Persia setiap tanggal 10 Muharam. Akan tetapi, ajaran Islam yang masuk dari Persia kemungkinan adalah Syiah. Kesamaan tradisi tersebut serupa dengan ritual Syiah di Persia yang saat ini merujuk pada negara Iran. Teori ini cukup lemah karena mayoritas pemeluk Islam di Indonesia adalah bermazhab Sunni.
Teori Cina Penyebaran Islam di Indonesia juga diperkirakan masuk dari Cina. Ajaran Islam berkembang di Cina pada masa Dinasti Tang (618-905 M), dibawa oleh panglima muslim dari kekhalifahan di Madinah semasa era Khalifah Ustman bin Affan, yakni Saad bin Abi Waqqash. Kanton pernah menjadi pusatnya para pendakwah muslim dari Cina. Jean A. Berlie (2004) dalam buku Islam in China menyebut relasi pertama antara orang-orang Islam dari Arab dengan bangsa Cina terjadi pada 713 M. Diyakini bahwa Islam memasuki Nusantara bersamaan migrasi orang-orang Cina ke Asia Tenggara. Mereka dan memasuki wilayah Sumatera bagian selatan Palembang pada 879 atau abad ke-9 M. Bukti lain adalah banyak pendakwah Islam keturunan Cina yang punya pengaruh besar di Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa, seiring dengan keruntuhan Kemaharajaan Majapahit pada perjalanan abad ke-13 M. Sebagian dari mereka disebut Wali Songo. Dalam buku Sejarah yang ditulis oleh Nana Supriatna diungkapkan, Kesultanan Demak didirikan oleh Raden Patah, putra Raja Majapahit dari istri seorang perempuan asal Cina yang telah masuk Islam. Raden Patah yang memiliki nama Cina, Jin Bun, memimpin Demak bersama Wali Songo sejak 1500 M.
0 komentar:
Posting Komentar